Waspadai Akibat Kerap Main Game

Diposting oleh LPK MOJOKERTO | 09.13.00 | 0 komentar »

Dengan semangat membangun konsumen kita Sosialisasikan UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Waspadai Akibat Kerap Main Game
Para orangtua hendaknya mulai waspada jika melihat anak-anaknya terlalu kerap main game. Efek buruk yang tak terduga adalah rusaknya struktur tulang tubuh yang akan diderita oleh para pecandu game ini.
Liburan yang asyik sudah mem­bayang di benak Fiona. Perth, Australia, sudah dijejak­nya. Ane­ka tempat wisata sudah siap dikunjungi. Tapi sial, Juan, anak Fiona, justru merengek minta pulang ke Jakarta. ”Aku enggak betah di sini, kangen PS-ku di rumah,” kata siswa kelas II sekolah dasar itu me­ngeluh.
Gemas betul Fiona mengenang kejadian tahun lalu itu. Juan, anaknya yang berumur delapan tahun, memang ke­ranjingan game sejak masih di taman kanak-kanak. Saban hari, sepulang sekolah sampai menjelang tidur, ia lebih banyak berkutat di depan layar televisi, memainkan video game.
Bahkan, di akhir pekan, saat teman sebayanya bermain sepeda atau berenang, Juan tak jua rela bercerai dari perangkat game PS, PlayStation. Fiona kini mulai resah dengan kebiasaan buruk Juan—untuk dimaklumi, keduanya bukan nama asli.
Kecemasan sang ibu bukan tak beralasan. Belakangan, makin banyak ditemukan kasus gangguan kesehatan akibat terlalu banyak main game. Bahkan, di Amerika Serikat, sejumlah orang tua menekan pemerintah agar mewajibkan setiap perusahaan video game—Nintendo, PlayStation, dan sejenisnya—mencantumkan bahaya pro­duknya bagi kesehatan anak.
Salah satu gangguan yang banyak ditemukan di Amerika Serikat adalah deformasi tulang jari dan buku jari. Seperti yang dialami Whitney, 10 tahun. Anak perempuan ini sudah bersentuh­an dengan video game sejak berusia dua tahun. Kala itu, posisi jari-jarinya normal: lurus dan sejajar. Delapan tahun bersahabat dengan game, jari-jari tangan Whitney kini tak keruan bentuknya. Jari tengah dan jari manis melengkung, tak bisa dirapatkan dengan kelingking.
Lekukan tongkat pengontrol game bagian bawah memang dirancang pas dengan formasi dan bentuk jari tengah dan jari manis. Pada saat memegang pengendali game, jari-jari dalam posisi menggenggam, tapi tak bersentuhan—malah menempel pada permukaan controller. Jari-jari dan buku jari perlahan menyesuaikan diri dengan bentuk permukaan controller. Akibatnya, bentuk jari-jari berubah.
Memang, bagi sebagian orang, yang terpengaruh hanya tampilan fisik jari. Fungsi jari tetap normal. Sayangnya, bagi Whitney, ceritanya lain. ­Jarinya tak bisa bergerak normal dan sering tera­sa nyeri. Orang tuanya pun cemas, ­jangan-jangan jemari Whitney jadi cacat permanen.
Secara alami, seluruh organ tubuh kita sudah dirancang sempurna sesuai dengan fungsinya. Artinya, aktivitas apa pun yang melebihi kemampuan fisik dan tidak sesuai dengan fungsinya bisa berakibat kerusakan. Apalagi bagi anak-anak yang masih dalam masa pertum­buhan dan belum padat tulangnya. Mereka sangat rentan oleh tekanan—termasuk bermain game berlebihan—yang menyebabkan perubahan bentuk tulang.
Rahyussalim, spesialis ortopedi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Ja­-karta, memberikan penjelasan. Organ tu­buh yang bekerja lebih berat atau mendapat tekanan berlebihan secara terus-menerus akan mengalami hypertrophy atau pembesaran. Misalnya, tangan ka­nan petenis cenderung lebih besar (atau tangan kiri pada yang kidal) dan ba­hu perenang umumnya menggembung.
Jari tangan yang bekerja berat—misalnya karena rajin main game atau mengetik di komputer—juga bisa mengalami hypertrophy. ”Prosesnya memang tidak gampang,” kata Rahyussalim. Banyak pula terjadi proses sebaliknya. Anak yang jarinya membesar lantaran gandrung bermain game, suatu saat, berganti hobi dan bentuk jari-jarinya pun kembali normal.
Dokter yang aktif di Masyarakat Skoliosis Indonesia itu mengingatkan, anak-anak lebih rentan karena tulangnya belum matang. Kondisi ini membuat anak-anak lebih mudah terkena tekanan yang bisa berakibat . Pada anak wanita, pertumbuhan tulang berhenti di usia 14-16 tahun, sedangkan anak lelaki pada umur 15-17 tahun.
Tak hanya soal main game, Rahyus­salim menambahkan, sikap duduk anak juga perlu diwaspadai demi menjaga pertumbuhan tulang. Hindari duduk dengan kaki terlipat menghadap keluar (atau seperti huruf W jika dilihat dari atas). Jika terlalu sering, kebiasaan ini bisa memicu kelainan sudut pangkal paha. Akibatnya, posisi berjalan bisa seperti bebek.
Posisi leher anak setiap kali duduk juga mesti diperhatikan. Idealnya, anak duduk tegak: leher, dada, pinggang, dan panggul membentuk huruf S tipis.Kewaspadaan untuk tidak main game overdosis pun berlaku bagi orang de­wa­sa. Tempo menemui Andrian, ­bukan nama sebenarnya, pria 33 tahun yang menjadi ”korban”  video game. ­Sejak kecil, ia sudah akrab dengan ­Nintendo, meski tidak intens. Baru sekitar satu setengah tahun terakhir, ia kembali me­nekuni video game, kali ini PlayStation.
Oktober tahun lalu, cuti Idul Fitri­nya selama lima hari dihabiskan dengan main game. Setiap hari, ia bisa ”bertapa” di depan layar hingga lima jam. Nonstop! Favoritnya: sepak bola dan Batman Begins.Siapa sangka, seusai cuti, kedua jempolnya nyeri seperti keseleo. Biasanya nyeri seperti ini cukup diredakan Andrian dengan istirahat sebentar. Tapi ini lain. Telunjuknya malah bengkak dan tak bisa digerakkan alias ”terkunci”. Panas jarinya bahkan menyebar sampai ke telapak tangan.
Setelah menyambangi dokter spesialis olahraga, Andrian baru mafhum penyakitnya: cedera otot tendon. Ini cedera yang kerap dialami atlet, terutama pebasket. Sang dokter—yang baru kali ini menemukan kasus sejenis akibat game—menyarankan jari Andrian dibedah: urat-urat yang lengket dibersihkan agar jarinya kembali berfungsi normal. Andrian jeri dengan opsi pembedahan. Dia lebih suka ”jalur lambat”, yakni selama 3-6 bulan mesti rutin merendam tangan dengan air dingin untuk mengurangi bengkak, lalu tangannya diolesi krim pereda nyeri.
Selama masa itu, alumnus sebuah universitas terkenal di Bandung ini mesti merihatkan jempolnya. Andrian tak boleh mengendarai motor, me­ngetik, juga mengirim pesan pendek melalui telepon seluler. Wah, siksaan berat! Apalagi profesinya di bidang hubungan masyarakat tak memungkin­kan dia berhenti mengetik. Walhasil, Andrian hanya bisa mengurangi kegiatan di depan komputer.

Kini, empat bulan berlalu, jempol Andrian masih kaku. Rasa nyeri sudah jauh berkurang. Tapi, ”Saya tetap kangen main game,” katanya seraya terbahak.
Simak pula kisah Wang Liang, asal Shenyang, Cina. Remaja 16 tahun ini kesulitan menggerakkan leher setelah semalam suntuk begadang main game. Rupanya, ia menderita cervical spondylosis. Penyakit tulang yang umumnya diderita orang berumur lebih dari 40 tahun ini belakangan banyak menimpa anak muda. Sebagian besar adalah pecandu game komputer. Tulang leher cedera akibat posisi duduk yang statis selama berjam-jam nonstop.
Teknologi memang pisau bermata dua. Ia membuat hidup jadi lebih mudah, tapi juga bisa membahayakan. Pengguna komputer, menurut Rah­yussalim, banyak terkena carpal tunnel syndrome. Pada posisi tangan menadah, terowong­an karpal berada di bawah, sedangkan bagian atas adalah li­gamen (jaringan ikat). Nah, aktivitas jari tangan yang berlebihan di papan ketik akan memicu pembesaran ligamen. Terowongan karpal pun menyempit.
Akibat selanjutnya, saraf medianus di dalam terowongan itu akan tertekan. Jempol, jari tengah, dan telunjuk biasanya akan terasa nyeri, baal, dan panas. Bukan hanya para gamer dan pengguna komputer, menurut Rahyussalim, beberapa profesi yang bertumpu pada satu titik tertentu di tangan juga menghadapi risiko sindrom karpal. Misalnya tukang kayu, penambal ban, atau ­atlet badminton yang banyak memelintir pergelangan tangan.
Jadi, apa pun profesi Anda, Rahyussalim mengingatkan, hati-hati memperlakukan tubuh.

Source: ANDARI KARINA ANOM--TEMPO
http://www.indofamilyhealth.com

0 komentar