Dengan semangat membangun konsumen kita Sosialisasikan UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Kapitalisme Global dan Masyarakat Konsumen
Masyarakat yang hidup di zaman kapitalisme global adalah masyarakat konsumen. Masyarakat seperti demikian sebenarnya adalah masyarakat yang telahmenjadi hamba dari ciptaannya sendiri, yaitu kapitalisme global. Kemajuan yang diusung dalam globalisasi telah membawa masyarakat dalam situasi terkungkung dalam jerat-jerat dan “rayuan” kapitalismeglobal, tatanan yang menawarkan berbagai kemudahan, keindahan, dan pemenuhan kebutuhan yang serba instan. Dengan budaya konsumsi yang dipegangnya, masyarakat konsumen sebenarnya merupakan hasil kreasi kapitalisme global.
Perkembangan kapitalisme global membutuhkan adanya masyarakat konsumen (consumer society) yang akan melahap semua produk kapitalisme tersebut. Masyarakat konsumen adalah masyarakat yang eksistensinya dilihat hanya dengan pembedaan komoditi yang dikonsumsi. Masyarakat konsumen dengan budaya konsumsi yang dipegangnya melihat tujuan dan totalitas
hidupnya dalam kerangka atau logika konsumsi.
Eksistensinya dijalankan dan dipertahankan hanya dengan semakin dan terus menerusnya mengkonsumsi berbagai tanda dan status sosial di balik komoditi. Bukan hanya dirinya saja yang mengaktualisasikan diri lewat tindakan konsumsi, orang lain juga akan dinilai menurut standar yang dipakainya itu. Artinya eksistensi orang lain pun akan dinilai dan diakui sesuai dengan standar status sosial yang dipegangnya. Di sini peran media massa dengan program advertising-nya sangat menonjol. Gaya konsumsi yang dipandu oleh advertising atau iklan dalam kapitalisme global, ternyata telah menciptakan suatu masyarakat konsumen yang mengkonsumsi, yang seakan-akan menjadi “sapi perahan” kaum kapitalis.
Paul du Gay, et al. dalam bukunya: Doing Cultural Studies: The Stories of the Sony Walkman (1997) menelusuri sejarah munculnya kritik atas budaya konsumtif dalam masyarakat konsumen. Mazhab Frankfürt seperti Adorno, Horkheimer, dan Marcuse, menempatkan kritik atas budaya konsumtif ini dalam kritik mereka atas Enlightenment. Istilah budaya industri sendiri diperkenalkan oleh Max Horkheimer dan Theodore Adorno. Budaya industri sendiri lahir dalam situasi di mana kegiatan industri difokuskan untuk menciptakan produk-produk dalam jumlah massal (Paul du Gay, et al, 1997: 81). Mereka melihat konsumsi sebagai tindakan memanipulasi masyarakat yang mengakibatkan keterpisahan manusia dari eksistensi sosial yang lebih otentik. Paul du Gay mengungkapkan fakta bahwa kebanyakan konsumen melakukan kegiatan konsumsi terutama demi penentuan identitas diri. Paul du Gay dkk. menelusuri kembali konsep diferensiasi sosial yang pernah dikemukakan oleh Throstein Veblen yang menyatakan bahwa seberapapun miskinnya seseorang, tindakan konsumsinya tidak hanya mengarah pada ‘nilai guna’, tetapi selalu mengarah pada ‘nilai identitas’ (Paul du Gay, et al, 1997: 96). Dalam hal ini yang menjadi patokan tentu saja trend yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Selain itu seperti yang diungkapkan oleh Bourdieu, konsumsi sekaligus berkaitan dengan benda- benda material dan aktivitas simbolis. Objek konsumsimendatangi kita sekaligus sebagai benda material dan bentuk simbolis. (Paul du Gay, et al, 1997: 97).
Penentuan ‘siapa aku’ atau status diri ditemukan dengan mengkonsumsi produk yang citra luarnya bisa mengangkat derajat identitas dirinya. Identitas luar di sini adalah hubungan antara harga yang mahal dan merek yang terkenal dan unik (Paul du Gay,et al, 1997: 99-102).
Searah dengan kritik terhadap masyarakat konsumen dan budaya konsumsi yang diungkapkan Paul du Gay dkk., Jean Baudrillard meradikalkan konsep tentang konsumsi ini dengan menghubungkannya dengan kapitalisme global dan media massa yang selalu menciptakan dan menyebarkan tanda-tanda untuk dikonsumsi oleh masyarakat konsumen. Bagi Baudrillard, konsumsi diradikalkan menjadi konsumsi tanda. Menurutnya masyarakat konsumen tidak lagi terikat oleh suatu moralitas dan kebiasaan yang selama ini dipegangnya. Mereka kini hidup dalam suatu kebudayaan baru, suatu kebudayaan yang melihat eksistensi diri mereka dari segi banyaknya tanda yang dikonsumsi. Dalam masyarakat seperti ini, konsumsi tidak lagi dilihat sebagai suatu kegiatan menghabiskan obyek, tetapi merupakan relasi di antara obyek atau sebagai suatu tindakan sistematis untuk memanipulasi benda (Baudrillard, 1997: 200)
Sumber : Journal.ui.ac.id
Perkembangan kapitalisme global membutuhkan adanya masyarakat konsumen (consumer society) yang akan melahap semua produk kapitalisme tersebut. Masyarakat konsumen adalah masyarakat yang eksistensinya dilihat hanya dengan pembedaan komoditi yang dikonsumsi. Masyarakat konsumen dengan budaya konsumsi yang dipegangnya melihat tujuan dan totalitas
hidupnya dalam kerangka atau logika konsumsi.
Eksistensinya dijalankan dan dipertahankan hanya dengan semakin dan terus menerusnya mengkonsumsi berbagai tanda dan status sosial di balik komoditi. Bukan hanya dirinya saja yang mengaktualisasikan diri lewat tindakan konsumsi, orang lain juga akan dinilai menurut standar yang dipakainya itu. Artinya eksistensi orang lain pun akan dinilai dan diakui sesuai dengan standar status sosial yang dipegangnya. Di sini peran media massa dengan program advertising-nya sangat menonjol. Gaya konsumsi yang dipandu oleh advertising atau iklan dalam kapitalisme global, ternyata telah menciptakan suatu masyarakat konsumen yang mengkonsumsi, yang seakan-akan menjadi “sapi perahan” kaum kapitalis.
Paul du Gay, et al. dalam bukunya: Doing Cultural Studies: The Stories of the Sony Walkman (1997) menelusuri sejarah munculnya kritik atas budaya konsumtif dalam masyarakat konsumen. Mazhab Frankfürt seperti Adorno, Horkheimer, dan Marcuse, menempatkan kritik atas budaya konsumtif ini dalam kritik mereka atas Enlightenment. Istilah budaya industri sendiri diperkenalkan oleh Max Horkheimer dan Theodore Adorno. Budaya industri sendiri lahir dalam situasi di mana kegiatan industri difokuskan untuk menciptakan produk-produk dalam jumlah massal (Paul du Gay, et al, 1997: 81). Mereka melihat konsumsi sebagai tindakan memanipulasi masyarakat yang mengakibatkan keterpisahan manusia dari eksistensi sosial yang lebih otentik. Paul du Gay mengungkapkan fakta bahwa kebanyakan konsumen melakukan kegiatan konsumsi terutama demi penentuan identitas diri. Paul du Gay dkk. menelusuri kembali konsep diferensiasi sosial yang pernah dikemukakan oleh Throstein Veblen yang menyatakan bahwa seberapapun miskinnya seseorang, tindakan konsumsinya tidak hanya mengarah pada ‘nilai guna’, tetapi selalu mengarah pada ‘nilai identitas’ (Paul du Gay, et al, 1997: 96). Dalam hal ini yang menjadi patokan tentu saja trend yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Selain itu seperti yang diungkapkan oleh Bourdieu, konsumsi sekaligus berkaitan dengan benda- benda material dan aktivitas simbolis. Objek konsumsimendatangi kita sekaligus sebagai benda material dan bentuk simbolis. (Paul du Gay, et al, 1997: 97).
Penentuan ‘siapa aku’ atau status diri ditemukan dengan mengkonsumsi produk yang citra luarnya bisa mengangkat derajat identitas dirinya. Identitas luar di sini adalah hubungan antara harga yang mahal dan merek yang terkenal dan unik (Paul du Gay,et al, 1997: 99-102).
Searah dengan kritik terhadap masyarakat konsumen dan budaya konsumsi yang diungkapkan Paul du Gay dkk., Jean Baudrillard meradikalkan konsep tentang konsumsi ini dengan menghubungkannya dengan kapitalisme global dan media massa yang selalu menciptakan dan menyebarkan tanda-tanda untuk dikonsumsi oleh masyarakat konsumen. Bagi Baudrillard, konsumsi diradikalkan menjadi konsumsi tanda. Menurutnya masyarakat konsumen tidak lagi terikat oleh suatu moralitas dan kebiasaan yang selama ini dipegangnya. Mereka kini hidup dalam suatu kebudayaan baru, suatu kebudayaan yang melihat eksistensi diri mereka dari segi banyaknya tanda yang dikonsumsi. Dalam masyarakat seperti ini, konsumsi tidak lagi dilihat sebagai suatu kegiatan menghabiskan obyek, tetapi merupakan relasi di antara obyek atau sebagai suatu tindakan sistematis untuk memanipulasi benda (Baudrillard, 1997: 200)
Sumber : Journal.ui.ac.id
0 komentar
Posting Komentar